I. SEJARAH PERKEMBANGAN KARANTINA
Karantina berasal dan kata “QUADRAGINTA (latin)” yang artinya : 40. Dulu semua penderita diisolasi selama 40 hari. Pada tahun 1348 lebih dari 60 juta orang penduduk dunia meninggal karena penyakit “Pes” (Black Death). Pada tahun 1348 Pelabuhan Venesia sebagai salah satu pelabuhan yang terbesar di Eropa melakukan upaya KARANTINA dengan cara menolak masuknya kapal yang datang dari daerah terjangkit Pes serta terhadap kapal yang dicurigai terjangkit penyakit Pes (Plague). Pada tahun 1377 di Roguasa dibuat suatu peraturan bahwa penumpang dari daerah terjangkit penyakit pes harus tinggal di suatu tempat di luar pelabuhan dan tinggal di sana selama 2 bulan supaya bebas dari penyakit. Itulah sejarah tindakan karantina dalam bentuk isolasi yang pertama kali dilakukan terhadap manusia.
Pada tahun 1383 di Marseille, Perancis, ditetapkan Undang-Undang Karantina yang pertama dan didirikan Station Karantina yang pertama. Akan tetapi, peran dari tikus dan pinjal belum diketahui dalam penularan penyakit Pes. Kemudian pada kurun waktu 1830 – 1847, wabah Kolera melanda Eropa. Atas inisiatif ahli kesehatan, terlaksana diplomasi penyakit infeksi secara intensif dan kerjasama multilateral kesehatan masyarakat sehingga terselenggara International Sanitary Conference di Paris tahun 1851 yang menghasilkan International Sanitary Regulations (ISR 1851). Tahun 1951 World Health Organization (WHO) mengadopsi regulasi yang dihasilkan oleh International Sanitary Conference. Tahun 1969 WHO mengubah ISR yang dihasilkan oleh International Sanitary Conference menjadi INTERNATIONAL HEALTH REGULATIONS dan dikenal sebagai IHR 1969.
Tujuan IHR adalah untuk menjamin keamanan maksimum terhadap penyebaran penyakit infeksi dengan melakukan tindakan yang sekecil mungkin mempengaruhi lalu lintas dunia. Sehubungan dengan perkembangan situasi dan kondisi serta adanya revisi ISR antara lain Third Annotated Edition 1966 of the ISR 1951, WHO juga melakukan revisi seperlunya terhadap IHR 1969, antara lain:
1. Pada tahun 1973 WHO melakukan revisi terhadap IHR 1969 dan dikenal sebagai Additional Regulation 1973.
2. Pada tahun 1981 WHO melakukan Revisi terhadap IHR 1969 dan dikenal sebagai Additional Regulation 1981.
3. Pada tahun 1983 WHO melakukan revisi terhadap IHR 1969 dan dikenal sebagai Third Annotated Edition 1983. Sejak ini penyakit karantina yang dulunya 6 (enam) penyakit berubah menjadi 3 (tiga) penyakit yaitu : Pes (Plague), Demam Kuning (Yellow Fever) serta Kolera (Cholera). Sedangkan Undang-Undang Karantina Udara dan Undang-Undang Karantina Laut hingga saat ini tetap memberlakukan 6 (enam) penyakit yaitu :
a) Pes (Plague) (ICD-9: 020,ICD-10:A 20)
b) Kolera (ICD - 9 : 001,ICD - 10:A 00)
c) Demam Kuning (Yellow Fever) (ICD-9:O6O,ICD-10:A 95)
d) Cacar (Smallpox) (ICD-9:050,ICD-10:B03)
e) Typhus Bercak Wabahi - Thypus Exanthematicus Infectiosa (Louse Borne Typhus)
f) Demam Bolak-Balik (Louse Borne Relapsing Fever)
4. Pada tahun 2005 telah dilakukan penyusunan International Health Regulations sebagai revisi IHR 1969 dan dikenal sebagai International Health Regulations (IHR) 2005. Revisi yang keempat ini diilhami oleh kejadian Pandemi SARS dan Bioterorisme pada tahun 2003.
a) 1 s/d 12 November 2004 : Intergovernmental Working Group-1, Kertas Kerja Proposal World Health Organization merevisi IHR 1969.
b) 24 Januari 2005 : Intergovermental Working Group-2 on The Revision of IHR:
1) Menghasilkan IHR 2005 dengan mengusung issue : Public Health Emergency of International Concern (PHEIC, dalam Bahasa Indonesia artinya Kedaruratan Kesehatan yg Meresahkan Dunia).
PHEIC adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) yang :
- dapat merupakan ancaman kesehatan bagi negara lain, dan
- kemungkinan membutuhkan koordinasi internasional dalam penanggulangannya.
2) Terhitung mulai 15 Juni 2007 bagi semua negara anggota WHO, harus sudah menerapkan IHR 2005 kecuali mereka yang menolak atau mengajukan keberatan.
3) Penolakan atau keberatan harus diajukan selambat-lambatnya 18 bulan dari saat diterima oleh WHA ke 58 (Mei 2005)
Tujuan IHR 2005 adalah mencegah, melindungi terhadap dan menanggulangi penyebaran penyakit antar negara tanpa pembatasan perjalanan dan perdagangan yang tidak perlu.
Penyakit : yang sudah ada, baru dan yang muncul kembali serta penyakit tidak menular (contoh: bahan radio-nuklir dan bahan kimia) yang dalam terminologi lain disebut NUBIKA (Nuklir, Biologi dan Kimia).
CATATAN :
Semenjak WHO mengadopsi International Sanitary Regulations (ISR) 1951 menjadi International Health Regulations (IHR) 1969 dan melakukan perubahan (revisi) sebanyak lima kali, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara yang berlaku di Indonesia belum pernah menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut walaupun Indonesia adalah negara yang menerima sepenuhnya regulasi tentang IHR.
II. KANTOR KESEHATAN PELABUHAN SEBAGAI PORT HEALTH AUTHORITY DI PELABUHAN/BANDARA DI INDONESIA
Periode HAVEN ARTS (Dokter Pelabuhan)
Pada tahun 1911 di Indonesia, Pes masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, kemudian tahun 1916 Pes masuk melalui Pelabuhan Semarang dan selanjutnya tahun 1923 Pes masuk melalui Pelabuhan Cirebon. Pada saat itu Indonesia masih hidup dalam zaman kolonial Belanda. Regulasi yang diberlakukan adalah Quarantine Ordonanti (Staatsblad Nomor 277 tahun 1911). Dalam perjalanan sejarahnya Quarantine Ordonanti telah berulang kali diubah. Penanganan kesehatan di pelabuhan dilaksanakan oleh HAVEN ARTS (Dokter Pelabuhan) dibawah HAVEN MASTER (Syahbandar). Saat itu di Indonesia hanya ada dua Haven Arts yaitu di Pulau Rubiah, Sabang dan Pulau Onrust, Teluk Jakarta.
Periode Pelabuhan Karantina
Pada masa Kemerdekaan, sekitar tahun 1949/1950, Pemerintah RI membentuk lima Pelabuhan Karantina yaitu :
a) Pelabuhan Karantina Klas I : Tanjung Priok dan Sabang
b) Pelabuhan Karantina Klas II : Surabaya dan Semarang
c) Pelabuhan Karantina Klas III : Cilacap.
Inilah periode PERAN RESMI PEMERINTAH RI DALAM KESEHATAN PELABUHAN DIMULAI.
Pada tahun 1959, Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 1959 tentang Penyakit Karantina. Perkembangan Selanjutnya, untuk memenuhi amanat Pasal 4 dan 6 Sub 3 Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kesehatan (UU nomor 9 tahun 1960, Lembaran Negara tahun 1960 nomor 131), TERLAHIRLAH UU Nomor 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut dan UU nomor 2 TAHUN 1962 tentang Karantina Udara.
Periode DKPL (Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut) dan DKPU (Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara)
Pada 1970, terbit SK Menkes No.1025/DD /Menkes, tentang pembentukan Dinas Kesehatan Pelabuhan Laut (DKPL) sebanyak 60 DKPL dan Dinas Kesehatan Pelabuhan Udara (DKPU) sebanyak 12 DKPU. Baik DKPL maupun DKPU adalah instansi non eselon. Kegiatan DKPL dan DKPU baik teknis maupun administratif, meski satu kota, terpisah.
Periode KANTOR KESEHATAN PELABUHAN
Di bawah SK Menkes Nomor 147/Menkes/IV/78, DKPL dan DKPU dilebur menjadi KANTOR KESEHATAN PELABUHAN (KKP) dan berada di bawah Bidang Desenban Kantor Wilayah Depkes dengan eselon III B.
Berdasarkan SK Menkes Nomor 147/Menkes/IV/78, KKP terdiri atas :
a) 10 KKP Kelas A
b) b) 34 KKP Kelas B
Kemudian terbitlah SK Menkes Nomor 630/Menkes/SK/XII/85, menggantikan SK Menkes Nomor 147/Menkes/IV/78. Eselon KKP tetap sama, yaitu eselon III B. Jumlah KKP bertambah menjadi 46 yang terdiri atas :
a) 10 KKP Kelas A
b) 36 KKP Kelas B (ditambah Dili dan Bengkulu)
Periode Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI
Sejak penerapan Undang-undang Otonomi Daerah, otoritas kesehatan ditingkat provinsi yang bernama Kantor Wilayah Departemen Kesehatan harus dilebur kedalam struktur Dinas Kesehatan Provinsi. Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Kewenangan mengamanatkan bahwa kekarantinaan sebagai wewenang pemerintah pusat.
Tahun 2004 terbit SK Menkes Nomor 265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan. KKP digolongkan menjadi :
a) KKP Kelas I (eselon II B) : 2 KKP.
b) b) KKP Kelas II (eselon III A) : 14 KKP.
c) c) KKP Kelas III (eselon III B) : 29 KKP.
Pada tahun 2007 dilakukan revisi terhadap Menkes Nomor 265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 167/MENKES/PER/II/2007. Dengan terbitnya Permenkes ini, maka bertambahlah 3 (tiga) KKP baru yaitu : KKP Kelas III Gorontalo, KKP Kelas III Ternate dan KKP Kelas III Sabang.
Menkes Nomor 265/Menkes/SK/III/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
III. PENYAKIT KARANTINA DAN PENYAKIT MENULAR POTENSIAL WABAH
PENYAKIT INFEKSI YANG ANGKA KEJADIANNYA MENINGKAT SECARA BERMAKNA DALAM 20 TAHUN TERAKHIR DAN ATAU MENGANCAM KESEHATAN MASYARAKAT DI MASA DEPAN DIKENAL DENGAN ISTILAH EMERGING INFECTIOUS DISEASE / EID.
EID dibedakan antara re-emerging diseases dan new emerging diseases.
Adanya Polio di Sukabumi pada pertengahan tahun 2005 menandai munculnya kembali penyakit-penyakit (re-emerging diseases) yang sudah hilang dari bumi Indonesia. Perkembangan berbagai penyakit re-emerging diseases dan new emerging diseases KEMBALI mengancam derajat kesehatan masyarakat.
Penyakit menular tergolong re-emerging diseases yang menjadi perhatian saat ini :
Poliomyelitis, Tuberkulosis, Dengue Demam Berdarah, HIV-AIDS, Demam Typhoid & Salmonellosis, Leptospirosis, Anthrax, Rabies, Pes, Filariasis, Kolera & penyakit diare lainnya, Pneumococcal pneumonia & penyakit ISPA lainnya, Diptheria, Lepra, Infeksi Helicobacter, Ricketsiosis, Pertussis, Gonorrhea & penyakit infeksi menular seksual lainnya, Viral hepatitis, Campak, Varicella/Cacar Air, Chikungunya, Herpes, Japanese encephalitis, Infectious Mononucleosis, infeksi HPV, Influenza, Malaria dll.
Sedangkan kemunculan penyakit new emerging disease diantaranya ditandai dengan merebaknya Avian flu mulai bulan Juni 2005 yang lalu, hingga tanggal 18 Maret 2007 telah mendekati ribuan Kasus dan sebanyak 86 orang diantaranya Positif Avian flu serta meninggal 65 orang. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian kasus Avian flu pada manusia di Indonesia kini adalah 75,6 persen.
Penyakit infeksi yang baru muncul (New Emerging Diseases) dan mengancam saat ini sebagian besar adalah penyakit bersumber binatang. Misalnya : SARS, Avian flu, Hanta-virus Pulmonary Syndrome, Hanta-virus infection with renal involvement, Japanese Encephalitis, Nipah diseases, West Nile Fever, E. coli O157:H7, BSE/vCJD dll
KARANTINA ADALAH PEMBATASAN AKTIVITAS ORANG SEHAT ATAU BINATANG YANG TELAH TERPAJAN (EXPOSED) KASUS PENYAKIT MENULAR SELAMA MASA MENULARNYA. (MISALNYA MELALUI KONTAK) UNTUK MENCEGAH PENYEBARAN PENYAKIT SELAMA MASA INKUBASI.
Dibedakan atas ABSOLUTE/COMPLETE QUARANTINE dan MODIFIED QUARANTINE.
ABSOLUTE/COMPLETE QUARANTINE :
PEMBATASAN KEBEBASAN BERGERAK BAGI MEREKA YANG TERPAJAN TERHADAP PENYAKIT MENULAR SELAMA PERIODE YANG BERLANGSUNG TIDAK LEBIH LAMA DARI MASA INKUBASI TERLAMA DENGAN SUATU CARA TERTENTU DENGAN TUJUAN MENCEGAH AGAR TIDAK TERJADI KONTAK YANG MUNGKIN MENIMBULKAN PENULARAN KEPADA MEREKA YANG TIDAK TERPAJAN.
MODIFIED QUARANTINE :
PEMBATASAN GERAK PARSIAL / SEBAGIAN DAN SELEKTIF BAGI MEREKA YANG TERPAJAN YANG PADA UMUMNYA, DILAKUKAN BERDASARKAN CARA PENULARAN YANG TELAH DIKETAHUI DAN DIPERKIRAKAN TERKAIT DENGAN BAHAYA PENULARAN. MISALNYA MELARANG ANAK TERKENA CAMPAK UNTUK MASUK SEKOLAH. TERMASUK DIDALAMNYA : PERSONAL SURVEILLANCE DAN SEGREGATION.
CARA PENULARAN INFEKSI :
1. CONTACT TRANSMISSION / MAN-TO-MAN TRANSMISSION
2. DROPLET TRANSMISSION : Percikan mengandung mikroorganisma disebarkan dalam jarak dekat (1 –2 mtr) melalui udara
3. AIRBORNE TRANSMISSION: menyebar melalui residual particlen <>
4. COMMON VEHICLE TRANSMISSION : melalui makanan tercemar, air, alat kesehatan
5. VECTORBORNE TRANSMISSION : nyamuk, lalat, tikus dll.